Sabtu, 21 April 2012

Hak Kekayaan Intelektual


Disusun Oleh :
Elin Eliani (22210333)
Galih Pangestu (22210924)
Harry Farhan (23210157)
Saepudin (26210320)
Tiara Lenggogeni (26210888)
Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma
Jl. Margonda Raya no. 100, Depok


 
Hak Kekayaan Intelektual (haki)
Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak yang diberikan kepada orang-orang atas hasil dari buah pikiran mereka. Biasanya hak eksklusif tersebut diberikan atas penggunaan dari hasil buah pikiran si pencipta dalam kurun waktu tertentu. Buah pikiran tersebut dapat terwujud dalam tulisan, kreasi artistik, simbol-simbol, penamaan, citra, dan desain yang digunakan dalam kegiatan ko-mersil.
Menurut WIPO (World Intellectual Property Organization) – badan dunia di bawah naungan PBB untuk isu HKI, hak kekayaan intelektual terbagi atas 2 kategori, yaitu:
1.      Hak Kekayaan Industri
Kategori ini mencakup penemu-an (paten), merek, desain indus-tri, dan indikasi geografis. Dari sumber situs WTO, masih ada hak kekayaan intelektual lainnya yang termasuk dalam kategori ini yaitu rahasia dagang dan desain tata letak sirkuit terpadu.
2.      Hak Cipta
Hak Cipta merupakan istilah legal yang menjelaskan suatu hak yang diberikan pada pencipta atas karya literatur dan artistik mereka. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan perlindungan atas hak cipta dan untuk mendukung serta memberikan penghargaan atas buah kreativitas.
Karya-karya yang dicakup oleh Hak Cipta termasuk: karya-karya literatur seperti novel, puisi, karya pertunjukan, karta-karya referensi, koran dan program komputer, data-base, film, komposisi musik, dan koreografi, sedangkan karya artistik seperti lukisan, gambar, fotografi dan ukiran, arsitektur, iklan, peta dan gambar teknis.
Kategori ini mencakup karya-karya literatur dan artistik seperti novel, puisi, karya panggung, film, musik, gambar, lukisan, fotografi dan patung, serta desain arsitektur. Hak yang berhubungan dengan hak cipta termasuk artis-artis yang beraksi dalam sebuah pertunjukan, produser fonogram dalam rekamannya, dan penyiar-penyiar di program radio dan televisi.
a.       Paten
Paten merupakan hak eksklusif yang diberikan atas sebuah penemuan, dapat berupa produk atau proses secara umum, suatu cara baru untuk membuat sesuatu atau menawarkan solusi atas suatu masalah dengan teknik baru.
Paten memberikan perlindungan terhadap pencipta atas penemuannya. Perlindungan tersebut diberikan untuk periode yang terbatas, biasa-nya 20 tahun. Perlindungan yang dimaksud di sini adalah penemuan tersebut tidak dapat secara komersil dibuat, digunakan, disebarkan atau di jual tanpa izin dari si pencipta.
b.      Merek
Merek adalah suatu tanda tertentu yang dipakai untuk mengidentifi-kasi suatu barang atau jasa sebagai-mana barang atau jasa tersebut dipro-duksi atau disediakan oleh orang atau perusahaan tertentu. Merek membantu konsumen untuk mengidentifikasi dan membeli sebuah produk atau jasa berdasarkan karakter dan kualitasnya, yang dapat teridentifikasi dari mereknya yang unik.
c.       Desain Industri
Desain industri adalah aspek ornamental atau estetis pada sebuah benda. Desain tersebut dapat mengandung aspek tiga dimensi, seperti bentuk atau permukaan benda, atau aspek dua dimensi, seperti pola, garis atau warna.
Desain industri diterapkan pada berbagai jenis produk industri dan kerajinan; dari instrumen teknis dan medis, jam tangan, perhiasan, dan benda-benda mewah lainnya; dari peralatan rumah tangga dan peralatan elektronik ke kendaraan dan struktur arsitektural; dari desain tekstil hinga barang-barang hiburan.
Agar terlindungi oleh hukum nasional, desain industri harus terlihat kasat mata. Hal ini berarti desain in-dustri pada prinsipnya merupakan suatu aspek estetis yang alami, dan tidak melindungi fitur teknis atas benda yang diaplikasikan.
d.      Indikasi Geografis
Indikasi Geografis merupakan suatu tanda yang digunakan pada ba-rang-barang yang memiliki keaslian geografis yang spesifik dan memiliki kualitas atau reputasi berdasar tempat asalnya itu. Pada umumnya, Indikasi Geografis merupakan nama tempat dari asal barang-barang tersebut. Produk-produk pertanian biasanya memiliki kualitas yang terbentuk dari tempat produksinya dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lokal yang spesifik, seperti iklim dan tanah. Berfung-sinya suatu tanda sebagai
indikasi geografis merupakan masalah hukum nasional dan persepsi konsumen.
e.       Rahasia Dagang
Rahasia dagang dan jenis-jenis informasi rahasia lainnya yang memiliki nilai komersil harus dilindungi dari pelanggaran atau kegiatan lainnya yang membuka rahasia praktek komersial. Namun langkah-langkah yang rasional harus ditempuh sebe-lumnya untuk melindungi informasi yang bersifat rahasia tersebut. Pengujian terhadap data yang diserahkan kepada pemerintah sebagai langkah memperoleh persetujuan untuk memasarkan produk farmasi atau perta-nian yang memiliki komposisi baru juga harus dilindungi dari kecurang-an perdagangan.
f.       Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Sirkuit terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat ber-bagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta di-bentuk secara terpadu di dalam sebu-ah bahan semi-konduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elekronik.
Desain tata letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu sirkuit terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan sirkuit terpadu.
A.    Undang-undang yang mengatur Hak Cipta
ü  UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
ü  UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
ü  UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
ü  UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
B.     Sejarah dan Perkembangan Hak Kekayaan Intelektual
Permasalahan Hak Kekayaan Intelektual merupakan suatu permasalahan yang terus berkembang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perdagangan internasional,. Pada awal perkembangannya permasalahan tersebut sangatlah sederhana, yaitu misalnya: hanya menyangkut tuntutan supaya dapat dikuasainya dan dipergunakannya untuk tujuan apa pun, apa – apa yang sudah diketemukannya, diciptakannya dengan kemampuan tenaganya maupun intelekualnya; siapakah yang berhak menjadi pemilik dari suatu hasil karya bila bahan bakunya berasal dari pihak lain; dan sebagainya.
Semakin dengan berkembangnya teknologi, permasalahan yang muncul di bidang HKI menjadi semakin kompleks. Ini membuat pengaturan yang pasti mengenai Hak Kekayaan Intelektual dirasakan perlu karena tanpa ada pengaturan tersebut maka akan banyak terjadi pelanggaran hak.
Undang-undang mengenai HKI pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo dan Guttenberg tercatat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka. Hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di jaman TUDOR tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791.
Berkembangnya perdagangan melewati batas – batas Negara dan adanya gerakan perdagangan bebas mengakibatkan makin terasa kebutuhan perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual yang sifatnya tidak lagi timbal – balik, tetapi sudah bersiat antarnegara secara global, pada akhir abad ke-19, perkembangan pengaturan masalah HKI mulai melewati batas – batas Negara. Upaya harmonisasi dalam bidang HKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang dan desain. Kemudian Berne Convention 1886 untuk masalah copyright atau hak cipta.
Tujuan dari konvensi-konvensi tersebut antara lain standarisasi, pembahasan masalah baru, tukar menukar informasi, perlindungan mimimum dan prosedur mendapatkan hak. Kedua konvensi itu kemudian membentuk biro administratif bernama the United International Bureau for the Protection of Intellectual Property yang kemudian dikenal dengan nama World Intellectual Property Organisation (WIPO). WIPO kemudian menjadi badan administratif khusus di bawah PBB yang menangani masalah HKI anggota PBB.
Di tingkat internasional, upaya untuk melindungi HKI berdasarkan pendekatan dari sudut perdagangan telah dilakukan sejak 1979 melalui negosiasi perdagangan internasional. Ada dua alasan kuat yang mendasari upaya tersebut. pertama, maraknya pembajakan dan pemalsuan barang – barang yang dilindungi oleh HKI. Kedua, adanya perkembangan inventoran teknologi tinggi yang dapat digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa dalam skala internasional.
Faktor – faktor tersebut turut memicu pelanggaran HKI di berbagai negara, utamanya di negara – negara berkembang. Misalnya, di tahun 1995, Amerika Serikat menuntut Korea dan Brazil karena negara – negara tersebut dianggap merugikan kepentingannya. Dua tahun kemudian, giliran Singapore yang dituntut oleh Amerika karena perlindungan HKI di negara tersebut dianggap kurang memadai. Untuk mendukung proses penuntutan terhadap pelanggaran HKI yang terjadi di negara – negara lain yang merugikan kepentingan AS, pemerintah A mendesain pasal 301 dalam UU perdagangannya sebagai landasan untuk menjatuhkan sanksi dagang kepada negara – negara pelanggar. Terhadap keberadaan pasal 301, banyak negara melakukan protes dan berpendapat bahwa pasal tersebut bersifat unilateral sehingga berdekatan dengan pendekatan multilateral yang digunakan oleh GATT. Menyadari bahwa perdagangan semakin mengglobal, negara adikuasa ini mencoba merangkul beberapa negara yang telah lama menjadi mitranya, yaitu Jepang dan negara – negara Uni Eropa untuk mengatasi pelanggaran HKI.
Setelah bernegosiasi di beberapa putaran, impian untuk melindungi HKI dalam kerangka perdagangan internasional berhasil diwujudkan dalam Putaran Uruguay (Uruguay Round) dari tahun 1986 – 1994. Salah satu dokumen penting yang dianggap sangat ambisius dan kontroversial adalah perjanjian tentang Aspek – Aspek HKI yang berkaitan dengan perdagangan atau yang lebih dikenal dengan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS). secara singkat dapat ditegaskan bahwa perjanjian TRIPS adalah landasan utama yang mengikat negara – negara WTO untuk melindungi HKI secara internasional. Di samping itu, TRIPS juga menyediakan peraturan tentang mekanisme penyelesaian sengketa yang bertugas menyelesaikan perselisihan antarnegara tentang permasalahan HKI yang diatur di bawah lingkup kerja WTO. Ada 7 cabang hukum yang dianggap sebagai bagian dari HKI oleh perjanjian TRIPS:
·         Hak Cipta
·         Merek
·         Paten
·         Desain Industri
·         Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
·         Rahasia Dagang
·         Varietas Tanaman
Sebagai akibat dari disetujuinya Uruguay Round, setiap anggota WTO yang telah menandatangani perjanjian TRIPS diwajibkan menyesuaikan perundang – undangan domestiknya di bidang HKI dengan standar minimum yang telah diatur dalam TRIPS, diantaranya negara – negara anggota harus menyesuaikan jangka waktu perlindungan dengan standar TRIPS dan negara anggota juga harus membuat peraturan hukum tentang ketujuh cabang HKI seperti yang tercantum dalam TRIPS.
Indonesia sebagai salah satu negara yang telah sepakat untuk melaksanakan persetujuan tersebut dengan seluruh lampirannya melalui Undang-undang No. 7 tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Lampiran yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HKI) adalah Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIP’s) yang merupakan jaminan bagi keberhasilan diselenggarakannya hubungan perdagangan antar Negara secara jujur dan adil, karena :
1.      TRIP’s menitikberatkan kepada norma dan standard
2.      Sifat persetujuan dalam TRIP’s adalah Full Complience atau ketaatan yang bersifat memaksa tanpa reservation.
3.      TRIP’s memuat ketentuan penegakan hukum yang sangat ketat dengan mekanisme penyelesaian sengketa diikuti dengan sanksi yang bersifat retributif.
Tumbuhnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya juga menimbulkan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut. Pada gilirannya, kebutuhan ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan tadi, termasuk pengakuan hak terhadapnya. Sesuai dengan hakekatnya pula, HKI dikelompokan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (Intangible).
Pengenalan HKI sebagai hak milik perorangan yang tidak berwujud dan penjabarannya secara lugas dalam tatanan hukum positif terutama dalam kehidupan ekonomi merupakan hal baru di Indonesia. Dari sudut pandang HKI, aturan tersebut diperlukan karena adanya sikap penghargaan, penghormatan dan perlindungan tidak saja akan memberikan rasa aman, tetapi juga mewujudkan iklim yang kondusif bagi peningkatan semangat atau gairah untuk menghasilkan karya-karya inovatif,inventif dan produktif.
Pengesahan perjanjian TRIPs, yang banyak dipengaruhi oleh desakan Amerika Serikat dan (beberapa negara maju lain) telah menyebabkan HKI menjadi sorotan agenda perdagangan internasional. Pemerintah Indonesia memberikan respon yang sangat cepat dengan melakukan perubahan UUHC, Merek dan Paten pada tahun 1997. beberapa perubahan lanjutan telah dipersiapkan untuk memperbaiki aturan perundang – undangan tersebut dan beberapa undang – undang baru juga telah disahkan pada tahun 2000 demi menyesuaikan hukum Indonesia dengan perjanjian TRIPs.
  v  Sejarah dan Perkembangan Peraturan HKI di Indonesia
Undang – Undang HKI yang pertama kali berlaku di Indonesia adalah produk hukum Belanda, yang dialihkan dan diterapkan di Indonesia oleh Pemerintah Kolonial Belanda selama masa penjajahan. Belanda kemudian juga menjadi anggota Konvensi Paris dan Konvensi Bern atas nama daerah – daerah jajahannya. Perangkat hukum tersebut serta keanggotaan dalam kedua konvensi internasional di atas tetap berlanjut setelah proklamasi 7 Agustus 1945. karena dalam Aturan Peralihan disebutkan bahwa seluruh peraturan perundang – undangan tetap berlaku sampai dikeluarkan aturan yang baru, maka perangkat hukum mengenai HKI yang ditinggalkan Belanda masih berlaku.
Perundangan HKI di Indonesia yang dimulai sejak masa penjajahan Belanda adalah Octrooi Wet No. 136 Staatsblad 1911 No. 313, Industrieel Eigendom Kolonien 1912 dan Auterswet 1912 Staatsblad 1912 No. 600.
Setelah Indonesia merdeka, Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman No. JS 5/41 tanggal 12 Agustus 1953 dan No. JG 1/2/17 tanggal 29 Agustus 1953 tentang Pendaftaran Sementara Paten.
Pada tahun 1961, Pemerintah RI mengesahkan Undang-undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek. Kemudian pada tahun 1982, Pemerintah juga mengundangkan Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Di bidang paten, Pemerintah mengundangkan Undang-undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten yang mulai efektif berlaku tahun 1991. Di tahun 1992, Pemerintah mengganti Undang-undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek dengan Undang-undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek.
Sejalan dengan masuknya Indonesia sebagai anggota WTO/TRIPs dan diratifikasinya beberapa konvensi internasional di bidang HKI sebagaimana dijelaskan dalam jawaban no. 7 di atas, maka Indonesia harus menyelaraskan peraturan perundang-undangan di bidang HKI. Untuk itu, pada tahun 1997 Pemerintah merevisi kembali beberapa peraturan perundang-undangan di bidang HKI, dengan mengundangkan:
ü  Undang-undang No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten;
ü  Undang-undang No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek;
Selain ketiga undang-undang tersebut di atas, pada tahun 2000 Pemerintah juga mengundangkan :
ü  Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
ü  Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
ü  Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Dengan pertimbangan masih perlu dilakukan penyempurnaan terhadap undang-undang tentang hak cipta, paten, dan merek yang diundangkan tahun 1997, maka ketiga undangundang tersebut telah direvisi kembali pada tahun 2001. Selanjutnya telah diundangkan:
ü  Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten;
ü   Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
C.     Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dalam Perdagangan Internasional
Pemikiran dan pengetahuan me-rupakan bagian penting dari perda-gangan sebab buah pemikiran dan pengetahuan tersebut dapat menghasilkan suatu ciptaan yang diperdagangkan. Oleh sebab itu, hak kekayaan intelektual menyentuh juga aspek industri dan perdagangan. Sebagian besar dari nilai yang dikandung oleh jenis obat-obatan baru dan produk-produk berteknologi tinggi berada pada banyaknya penemuan, inovasi, riset, desain dan pengetesan yang dilakukan. Film-film, rekaman musik, buku-buku dan piranti lunak komputer serta jasa online dibeli dan dijual karena informasi dan krea-tivitas yang terkandung, biasanya bukan karena plastik, metal atau kertas yang digunakan untuk membuatnya. Produk-produk yang semula diperda-gangkan sebagai barang-barang berteknologi rendah kini mengandung nilai penemuan dan desain yang lebih tinggi sehingga meningkatkan nilai jual produk-produk tersebut.
Dalam hal penciptaan atas produk-produk tersebut, pencipta dapat diberikan hak untuk mencegah pihak lain memakai penemuan mereka, desain atau karya lainnya dan pencipta dapat menggunakan hak tersebut un-tuk menegosiasikan pembayaran sebagai ganti atas penggunaan hasil ciptaannya itu oleh pihak lain. Inilah yang dimaksud dengan ”hak kekaya-an intelektual”. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kekayaan in-telektual ini bentuknya bisa beragam, seperti buku-buku, lukisan dan film-film di bawah hak cipta; penemuan dapat dipatenkan; merek dan logo produk dapat didaftarkan sebagai merek; dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, perlindungan serta penerapan atas hak kekayaan intelektual ini bervariasi di seluruh dunia. Sebagaimana kesadaran akan pentingnya HKI dalam perdagangan semakin tinggi, maka perbedaan-perbedaan antar berbagai pi-hak di dunia menjadi sumber perde-batan dalam hubungan ekonomi internasional. Adanya suatu peraturan perdagangan internasional yang dise-pakati atas HKI dipandang sebagai cara untuk menertibkan dan menjaga konsistensi serta mengupayakan agar perselisihan dapat diselesaikan secara lebih sistematis.
Menyadari HKI sebagai faktor penting dalam perdagangan interna-sional, maka dalam kerangka sistem perdagangan multilateral, kesepakat-an mengenai HKI (Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPS) dinegosiasi-kan untuk pertama kalinya dalam pe-rundingan WTO, yaitu Uruguay Round pada tahun 1986-1994.
Uruguay Round berhasil membu-ahkan kesepakatan TRIPS Agreement sebagai suatu jalan untuk memper-sempit perbedaan yang ada atas perlindungan HKI di dunia dan menaunginya dalam sebuah peraturan internasional. TRIPS Agreement menetapkan tingkat minimum atas perlindungan HKI yang dapat dijaminkan terhadap seluruh anggota WTO. Hal yang penting adalah ketika ter-jadi perselisihan perdagangan yang terkait dengan HKI, maka sistem penyelesaian persengketaan WTO kini tersedia.
Kesepakatan TRIPS ini meliputi 5 (lima) hal, yaitu:
1)      Penerapan prinsip-prinsip dasar atas sistem perdagangan dan hak kekayaan intelektual
2)      Perlindungan yang layak atas hak kekayaan intelektual
3)      Bagaimana negara-negara harus menegakkan hak kekayaan inte-lektual sebaik-baiknya dalam wilayahnya sendiri
4)      Penyelesaian perselisihan atas hak kekayaan intelektual antara negara-negara anggota WTO
5)      Kesepakatan atas transisi khusus selama periode saat suatu sistem baru diperkenalkan
Perjanjian TRIPS yang berlaku sejak 1 Januari 1995 ini merupakan perjanjian multilateral yang paling komprehensif mengenai HKI. TRIPS ini sebetulnya merupakan perjanjian dengan standar minimum yang memungkinkan negara anggota WTO untuk menyediakan perlindungan yang lebih luas terhadap HKI. Negara-negara Anggota dibebaskan un-tuk menentukan metode yang paling memungkinkan untuk menjalankan ketetapan TRIPS ke dalam suatu sistem legal di negaranya.
Salah satu isu dalam HKI yang menarik untuk dibahas adalah pemalsuan. Pemalsuan merupakan masalah yang sedang berkembang yang men-ciptakan ketegangan dalam hubungan ekonomi internasional. Oleh karena itu, perjanjian TRIPS juga mencakup penerapan prinsip-prinsip dasar GATT dan perjanjian-perjanjian internasional yang relevan dengan masalah HKI, termasuk pemalsuan.
Perjanjian TRIPS mengharuskan Anggota WTO untuk melakukan notifikasi kepada Dewan TRIPS. Notifikasi ini merupakan fasilitasi bagi Dewan TRIPS untuk memonitor implementasi Perjanjian dan wadah yang mendukung transparansi negara anggota menyangkut kebijakan atas perlindungan HKI. Selain itu, negara anggota yang akan memanfaatkan beberapa ketentuan yang tercakup dalam Perjanjian dan berhubungan dengan kewajiban harus memberikan notifikasi kepada Konsul. Konsul telah menetapkan prosedur dan arahan mengenai notifikasi. Sebagai tambahan, negara anggota juga telah setuju untuk melakukan notifikasi atas hal-hal yang belum diatur dalam Perjanjian.
D.    DASAR HUKUM
Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade             Organization (WTO)
ü  Undang-undang Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan
ü  Undang-undang Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta
ü  Undang-undang Nomor 14/1997 tentang Merek
ü  Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of             Industrial Property dan Convention Establishing the             World Intellectual Property Organization
ü  Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
ü  Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of             Literary and Artistic Works
ü  Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty





Tidak ada komentar:

Posting Komentar