Rabu, 30 Mei 2012

SUBJEK DAN OBJEK HUKUM



Disusun Oleh :
Elin Eliani (22210333)
Galih Pangestu (22210924)
Harry Farhan (23210157)
Saepudin (26210320)
Tiara Lenggogeni (26210888)





 ABSTRACT
Dalam pembagiannya subjek hukum Perdata terdiri atas manusia (naturlijkperson) dan badan hukum (rechtperson). Tetapi dalam perkembangannya, ternyata pemerintah yang adalah lembaga publik dapat juga melakukan tindakan hukum perdata, hal ini dapt dibuktikan dengan terlibatnya pemerintah sebagai salah satu pihak dalam kontrak pengadaan barang atau jasa. Berdasarkan hasil penelusuran ternyata bahwa, ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada peraturan hukum perdata, maka pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum bukan wakil dari jabatan, sehingga tindakan pemerintah tersebut adalah tindakan badan hukum
PENDAHULUAN
Hukum dalam klasifikasinya terbagi atas hukum publik dan hukum privat. Hukum publik yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan negara atau negara dengan warga negara. Hukum privat yaitu hukum yang mengatur hubungan antara satu orang dengan orang lain atau subjek hukum lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan. Berdasarkan pengertiannya, maka subjek hukum perdata terdiri atas orang dan badan hukum.
Tidak dapat di pungkiri bahwa pemerintah dalam kegiatan sehari-hari melakukan tindakan-tindakan bisnis dengan pihak non-pemerintah. Pemerintah misalnya perlu membeli barang atau jasa (government procurement) dalam rangka menjalankan fungsinya sehari-hari. Barang atau jasa yang dibutuhkan dari yang sederhana seperti alat tulis kerja, sampai dengan pembeliaan pesawat udara, Pembangunan Gedung dan jembatan ataupun juga peralatan perang guna menunjang pertahanan dan keamanan negara. Sedangkan jasa yang dibutuhkan oleh pemerintah dapat berupa jasa konsultansi, dan lain-lain.
Dalam memenuhi kebutuhannya tersebut, tentunya pemerintah harus mengikuti prosedur pengadaan sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.
Secara sederhana kontrak dapat digambarkan sebagai suatu perjanjian antara dua atau lebih pihak yang mempunyai nilai komersial tertentu. Sebagaimana layaknya sebuah perjanjian, dalam sebuah kontrak para pihak yang mengikatkan diri adalah subjek hukum. Adapun yang dimaksud dengan subjek hukum disini adalah subjek hukum perdata. Apabila telah di pahami bahwa yang dimaksud para pihak dalam kontrak adalah subjek hukum perdata, maka timbul pertanyaan apakah mungkin pemerintah yang tidak biasanya di persepsikan sebagai subjek hukum perdata tetapi subjek hukum publik dapat menjadi salah satu pihak dalam sebuah kontrak pengadaan barang atau jasa?
PEMBAHASAN
Pengertian Subyek Hukum
Subyek hukum adalah setiap makhluk yang berwenang untuk memiliki, memperoleh, dan menggunakan hak-hak kewajiban dalam lalu lintas hukum.. Dan yang berhak memperoleh kewajiban dan hak yaitu manusia. Jadi, manusia adalah subjek hukum.
Jenis Subyek Hukum
Subyek hukum terdiri dari dua jenis yaitu:
  1. Manusia Biasa
Manusia biasa (natuurlijke persoon) manusia sebagai subyek hukum telah mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya dan dijamin oleh hukum yang berlaku dalam hal itu menurut pasal 1 KUH Perdata menyatakan bahwa menikmati hak kewarganegaraan tidak tergantung pada hak kewarganegaraan.
Setiap manusia pribadi (natuurlijke persoon) sesuai dengan hukum dianggap cakap bertindak sebagai subyek hukum kecuali dalam Undang-Undang dinyatakan tidak cakap seperti halnya dalam hukum telah dibedakan dari segi perbuatan-perbuatan  hukum adalah sebagai berikut :
1.      Cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang dewasa menurut hukum (telah berusia 21 tahun dan berakal sehat).
2.      Tidak cakap melakukan perbuatan hukum berdasarkan pasal 1330 KUH perdata tentang orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian   adalah :
3.      Orang-orang yang belum dewasa (belum mencapai usia 21 tahun).
4.      Orang ditaruh dibawah pengampuan (curatele) yang terjadi karena   gangguan jiwa pemabuk atau pemboros.
5.      Orang wanita dalm perkawinan yang berstatus sebagai istri.
  1. Badan Hukum
Badan hukum (rechts persoon) merupakan badan-badan perkumpulan yakni orang-orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum.
Badan hukum sebagai subyek hukum dapat bertindak hukum (melakukan perbuatan hukum) seperti manusia dengan demikian, badan hukum sebagai pembawa hak dan tidak berjiwa dapat melalukan sebagai pembawa hak manusia seperti dapat melakukan persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya, oleh karena itu badan hukum dapat bertindak dengan perantara pengurus-pengurusnya.
Misalnya suatu perkumpulan dapat dimintakan pengesahan sebagai badan hukum dengan cara :
1.      Didirikan dengan akta notaris.
2.      Didaftarkan di kantor Panitera Pengadilan Negara setempat.
3.      Dimintakan pengesahan Anggaran Dasar (AD) kepada Menteri Kehakiman dan HAM, sedangkan khusus untuk badan hukum dana pensiun pengesahan anggaran dasarnya dilakukan Menteri Keuangan.
4.      Diumumkan dalam berita Negara Republik Indonesia.
Badan hukum dibedakan dalam 2 bentuk yaitu :
  1. Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon)
    Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan publik untuk yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya.
Dengan demikian badan hukum publik merupakan badan hukum negara yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional oleh eksekutif (Pemerintah) atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu, seperti Negara Republik Indonesia, Pemerintah Daerah tingkat I dan II, Bank Indonesia dan Perusahaan Negara.
  1. Badan Hukum Privat (Privat Recths Persoon)\
Badan Hukum Privat (Privat Recths Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan banyak orang di dalam badan hukum itu.
Dengan demikian badan hukum privat merupakan badan hukum swasta yang didirikan orang untuk tujuan tertentu yakni keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain menurut hukum yang berlaku secara sah misalnya perseroan terbatas, koperasi, yayasan, badan amal.
Pengertian Obyek Hukum
Obyek hukum menurut pasal 499 KUH Perdata, yakni benda. Benda adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum atau segala sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi para subyek hukum atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hak milik.
Jenis Obyek Hukum
Kemudian berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2, yakni benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen), dan benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderan).
  1. Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen)
Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen) adalah suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera, terdiri dari benda berubah/berwujud, meliputi:
Benda bergerak/tidak tetap, berupa benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan.
Dibedakan menjadi sebagai berikut :
1.      Benda bergerak karena sifatnya, menurut pasal 509 KUH Perdata adalah benda yang dapat dipindahkan, misalnya meja, kursi, dan yang dapat berpindah sendiri contohnya ternak.
2.      Benda bergerak karena ketentuan undang-undang, menurut pasal 511 KUH Perdata adalah hak-hak atas benda bergerak, misalnya hak memungut hasil (Uruchtgebruik) atas benda-benda bergerak, hak pakai (Gebruik) atas benda bergerak, dan saham-saham perseroan terbatas.
Benda tidak bergerak
Benda tidak bergerak dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
1.      Benda tidak bergerak karena sifatnya, yakni tanah dan segala sesuatu yang melekat diatasnya, misalnya pohon, tumbuh-tumbuhan, area, dan patung.
2.      Benda tidak bergerak karena tujuannya yakni mesin alat-alat yang dipakai dalam pabrik. Mesin senebar benda bergerak, tetapi yang oleh pemakainya dihubungkan atau dikaitkan pada bergerak yang merupakan benda pokok.
3.      Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang, ini berwujud hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak misalnya hak memungut hasil atas benda yang tidak dapat bergerak, hak pakai atas benda tidak bergerak dan hipotik.
Dengan demikian, membedakan benda bergerak dan tidak bergerak ini penting, artinya karena berhubungan dengan 4 hal yakni :
1.      Pemilikan (Bezit)
Pemilikan (Bezit) yakni dalam hal benda bergerak berlaku azas yang tercantum dalam pasal 1977 KUH Perdata, yaitu berzitter dari barang bergerak adalah pemilik (eigenaar) dari barang tersebut. Sedangkan untuk barang tidak bergerak tidak demikian halnya.
2.      Penyerahan (Levering)
Penyerahan (Levering) yakni terhadap benda bergerak dapat dilakukan penyerahan secara nyata (hand by hand) atau dari tangan ke tangan, sedangkan untuk benda tidak bergerak dilakukan balik nama.
3.      Daluwarsa (Verjaring)
Daluwarsa (Verjaring) yakni untuk benda-benda bergerak tidak mengenal daluwarsa, sebab bezit di sini sama dengan pemilikan (eigendom) atas benda bergerak tersebut sedangkan untuk benda-benda tidak bergerak mengenal adanya daluwarsa.
4.      Pembebanan (Bezwaring)
Pembebanan (Bezwaring) yakni tehadap benda bergerak dilakukan pand (gadai, fidusia) sedangkan untuk benda tidak bergerak dengan hipotik adalah hak tanggungan untuk tanah serta benda-benda selain tanah digunakan fidusia.
  1. Benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderen)
Benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriegoderen) adalah suatu benda yang dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, contohnya merk perusahaan, paten, dan ciptaan musik / lagu.
Pengertian Hak Kebendaan Yang Bersifat Sebagai Pelunasan Hutang (Hak Jaminan)
Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan hutang (hak jaminan) adalah hak jaminan yang melekat pada kreditor yang memberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan jaminan jika debitur melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi (perjanjian).
Dengan demikian hak jaminan tidak dapat berdiri karena hak jaminan merupakan perjanjian yang bersifat tambahan (accessoir) dari perjanjian pokoknya, yakni perjanjian hutang piutang (perjanjian kredit).
Perjanjian hutang piutang dalam KUH Perdata tidak diatur secara terperinci, namun bersirat dalam pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjaman pengganti yakni dikatakan bahwa bagi mereka yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.
KESIMPULAN
Subjek Hukum mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting di dalam bidang hukum, khususnya hukum keperdataan, karena subjek hukum itulah nantinya yang dapat mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegheid) untuk melakukan perbuatan hukum. Dikenal 2 (dua) macam subjek hukum perdata yakni manusia (naturlijk person) dan badan hukum (recht person).
Negara dalam perspektif hukum perdata adalah sebagai badan hukum publik. Bila berdasarkan hukum publik negara adalah organisasi jabatan atau kumpulan dari organ-organ kenegaraan, yang di dalamnya terdapat organ pemerintahan, maka berdasarkan hukum perdata, negara adalah kumpulan dari badan-badan hukum, yang di dalamnya terdapat badan pemerintahan.
Tindakan hukum badan pemerintahan dilakukan oleh pemerintah sebagaimana manusia dan badan hukum privat terlibat dalam lalu lintas pergaulan hukum. Pemerintah menjual dan membeli, menyewa dan menyewakan, menggadai dan menggadaikan, membuat perjanjian, dan mempunyai hak milik. Ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada peraturan hukum perdata, pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum, bukan wakil dari jabatan.

DAFTAR PUSTAKA
Sarah S. Kuahaty
2011
Subjek dan Objek Hukum
Jakarta

HUKUM PERIKATAN


Disusun oleh    ;           Elin Eliani (22210333)
                                    Galih Pangestu (22210924)
                                    Harry Farhan (23210157)
                                    Saepudin (26210320)
                                    Tiara Lenggogeni (26210888)          

Abstrak

Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.

Pendahuluan

Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi (pers onal law).

Pembahasan
Jika dirumuskan, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), dalam bidang hukunm keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession), dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Perikatan yang terdapat dalam bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas.perikatan yang terdapat dalam bidang- bidang hukum tersebut di atas dapat dikemukakan contohnya sebagai berikut:
a) Dalam bidang hukum kekayaan, misalnya perikatan jual beli, sewa menyewa, wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming), pembayaran tanpa utang, perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain.
b) Dalam bidang hukum keluarga, misalnya perikatan karena perkawinan, karena lahirnya anak dan sebagainya.
c) Dalam bidang hukum waris, misalnya perikatan untuk mawaris karena kematian pewaris, membayar hutang pewaris dan sebagainya.
d) Dalam bidang hukum pribadi, misalnya perikatan untuk mewakili badan hukum oleh pengurusnya, dan sebagainya.

Perikatan Dalam arti Sempit.

Perikatan yang dibicarakan dalam buku ini tidak akan meliputi semua perikatan dalam bidang- bidang hukum tersebut. Melainkan akan dibatasi pada perikatan yang terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan saja,yang menurut sistematika Kitab Undang- Undang hukum Perdata diatur dalam buku III di bawah judul tentang Perikatan.
Tetapi menurut sistematika ilmu pengetahuan hukum, hukum harta kekayaanitu meliputi hukukm benda dan hukum perikatan, yang diatur dalam buku II KUHPdt di bawah judul Tentang Benda. Perikatan dalam bidang harta kekayaan ini disebut Perikatan dalam arti sempit.

Azas-azas dalam hukum perikatan

Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
  v  Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
  v  Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1.      Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2.      Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3.      Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4.      Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum

Wanprestasi dan Akibat-akibatnya

Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
  1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
  2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
  3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Akibat-akibat Wansprestasi

Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
  1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
    Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a.       Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b.      Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c.       Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
  1. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
    Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
    Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
  2. Peralihan Risiko
    Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.

SUBJEK HUKUM PERIKATAN
            Kegiatan ekonomi secara umum dapat diartikan sebagai kegiatan usaha yang dijalankan oleh seseorang atau badan hukum untuk mendapatkan laba atau keuntungan. Dalam  hubungan hukum dikenal subjek hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Dalam perkembangannya manusia tidak mampu melaksanakan kegiatan atau usaha secara sendirian, maka lahirlah perkumpulan-perkumpulan, asosiasi, dan atau dikenal menggunakan hukum  perikatan dalam kebebasan berkontrak menurut Daeng (2009:7( sebagai berikut:
  1. Perusahaan perseorangan
  2. Perusahaan persekutuan (pasal 1618 KUH Perdata)
  3. Persekutuan Komanditer (pasal 19 sampai 21 KUHD)
  4. Perseroan Firma (pasal 16 sampai 18 KUHD)
  5. Perseroan Terbatas (UU No. 20 Tahun 2007 tentang PT)
Perusahaan perseroaan adalah perusahaan yang didirikan dan dimiliki oleh seorang pengusaha, dalam masyarakat umum dikenal dengan nama Usaha Dagang (UD) dan Perusahaan Dagang (PD)
OBJEK HUKUM PERIKATAN
            Benda merupakan objek hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan benda. Macam dan jenis benda dapat kita pelajari dalam kehidupan sehari-hari antara lain: Benda bergerak dan tidak bergerak, benda yang habis dipakai dan benda yang tidak habis dipakai dan lainnya,. Macam benda yang terpenting dalam hukum adalah benda bergerak dan tidak bergerak karena perolehannya,  penyerahannya, dan jaminan hak kebendaan menggunakan kebebasan berkontrak dalam Gadai dan hak tanggungan serta fiducia. (Subekti 1984:63)

Daftar Pustaka
Yusmedi Yusuf
2009
Hukum Perikatan
Tangerang




TINJAUAN HUKUM PERJANJIAN TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK PEKERJA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL


Disusun Oleh :
Elin Eliani (22210333)
Galih Pangestu (22210924)
Harry Farhan (23210157)
Saepudin (26210320)
Tiara Lenggogeni (26210888)

Abstrak
Perlindungan hak-hak tenaga kerja sangat penting untuk
menumbuhkan industri. Praktek menunjukkan bahwa hak-hak pekerja
masih sangat lemah. Karena itu dilakukan perubahan atas undangundang
ketenagakerjaan dengan UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dengan adanya sistim
yang baru ini, diharapkan akan terwujudnya kepastian hukum dalam
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan proses yang
cepat, tepat, adil dan murah sehingga dapat menimbulkan kepercayaan
dari para investor. Ketidakpastian dan multitafsir dalam peraturan
bidang hubungan industrial sering kali menimbulkan konflik,
perselisihan, dan pemogokan yang merugikan baik bagi pekerja
maupun bagi pengusaha.

A. Pendahuluan
Babak baru penyelesaian sengketa ketenagakerjaan telah dimulai,
yang ditandai dengan diundangkannya RUU tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial menjadi UU No. 2 Tahun 2004 pada
tanggal 14 Januari 2004. Pada Pasal 126 UU No. 2 Tahun 2004 disebutkan
bahwa UU ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan. Artinya,
UU ini semestinya berlaku efektif tepat pada tanggal 14 Januari 2005.
Namun dengan pertimbangan perlu pemahaman dan berbagai persiapan
sarana dan prasarana, sumber daya manusia, baik di lingkungan
pemerintah maupun lembaga peradilan dalam pelaksanannya, maka
pemberlakuan UU ini ditunda oleh pemerintah sampai tanggal 14 Januari
B. Aspek Hukum Perlindungan Hak-Hak Pekerja Dalam Sengketa
Ketenagakerjaan
Membicarakan perlindungan terhadap buruh haruslah bermula dari
pemahaman terhadap hubungan yang terjadi antara buruh-majikan.
Dalam hubungan buruh-majikan, posisi buruh selalu subordinatif dengan
majikan. Hal ini merupakan akibat dari tidak seimbangnya kekuasaan
ekonomi (yang pada akhirnya menimbulkan ketidakseimbangan
kekuasaan politik) yang melekat pada buruh dan pada majikan. Menurut
Soepomo, “sosiologis buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidakmempunyai bekal hidup lain daripada tenaganya itu, ia terpaksa untuk
bekerja pada orang lain. Dan majikan inilah yang pada dasarnya
menentukan syarat-syarat kerja itu.” 3 Atau yang dalam hubungan-
hubungan pribadi disebut sebagai kelemahan struktural.4
Ditinjau dari teori ketidakseimbangan kompensasi, maka fenomena
tersebut menunjukkan bahwa antara pemberi kerja dan penerima kerja
ada ketidaksamaan kedudukan secara sosial-ekonomis. Penerima kerja
sangat tergantung pada pemberi kerja sehingga hubungan kerja yang
timbul bersifat subordinatif. Konsekuensi pola hubungan yang
subordinatif ini menghendaki adanya hukum perburuhan yang memberi
hak lebih banyak kepada pihak yang lemah daripada pihak yang kuat.
Hukum bertindak “tidak sama” kepada masing-masing pihak dengan
maksud agar terjadi suatu keseimbangan yang sesuai. Menurut prinsipprinsip
ketidak-samaan, pihak yang lemah harus mendapatkan
kesempatan yang lebih tinggi.5 Dari sudut kontitusi Indonesia, jelas hal
tersebut relevan dengan ketentuan Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945.6
Di sisi lain, dalam prakteknya seringkali terjadi perbenturan antara
kepentingan pengusaha dengan pekerja. Kondisi inilah pada akhirnya
dapat memicu terjadinya sengketa antara pengusaha dengan pekerja,
sehingga diperlukan aturan hukum yang memadai untuk
menjembataninya. Hal ini sesuai dengan fungsi hukum untuk mengatur
dan menjaga ketertiban masyarakat, serta memberikan perlindungan bagi
kepentingan masyarakat. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum
harus dilaksanakan baik secara normal, damai dan bahkan dapat juga
terjadi karena pelanggaran hukum. Perlindungan hukum ini penting untukmenjamin agar hak-hak manusia sebagai subyek hukum tidak dilanggar
atau dirugikan oleh pihak lainnya. Suatu hak mempunyai sifat hukum
sehingga hak tersebut dilindungi oleh sesuatu sistim hukum.7 Dengan
demikian, hak merupakan kepentingan yang pada hakikatnya
mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam
melaksanakannya.
Dalam konteks UU No. 2 Tahun 2004, perlindungan hak pekerja
dalam sengketa ketenagakerjaan dapat dilihat dari materi yang diatur
dalam UU itu sendiri. Secara umum, UU ini mengatur hal-hal sebagai
berikut;
1. Ketentuan Umum yang memuat batasan beberapa isitilah
seperti: perselisihan hubungan industrial, perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja,
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha,
perusahaan, serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh,
perundingan bipartit, mediasi hubungan industrial atau mediasi,
mediator hubungan industrial atau mediator, konsiliasi hubungan
industrial atau konsiliasi, konsiliator hubungan industrial atau
konsiliator, arbitrase hubungan industrial atau arbitrase, arbiter
hubungan industrial atau arbiter, pengadilan hubungan industrial atau
pengadilan khusus, hakim, hakim ad-hoc, hakim kasasi dan menteri.
2. Jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi : perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan
perselisihan antar serikat/pekerja serikat buruh.
3. Ruang lingkup Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Industrial
meliputi : Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
menyangkut masalah : penyelesaian melalui bipartit, penyelesaian
melalui mediasi, penyelesaian melalui konsiliasi, penyelesaian melalui
arbitrase; Pengadilan Hubungan Industrial menyangkut masalah :
umum, hakim, hakim ad-hoc, dan hakim kasasi, kepaniteraan dan
panitera pengganti; Penyelesaian perselisihan melalui Pengadilan
Hubungan Industrial menyangkut masalah : penyelesaian perselisihan
oleh hakim, penyelesaian perselisihan oleh hakim kasasi; sanksi
administratif dan ketentuan pidana
Berdasarkan gambaran umum di atas, penyelesaian sengketa
ketenagakerjaan dalam UU N0. 2 Tahun 2004 yang dikenal dengan

C. Kritik Terhadap UU No. 2 Tahun 2004 Tentang PPHI
Idealnya suatu produk hukum harus dibentuk berdasarkan tiga tolak
ukur validitas/keberlakuan hukum, yaitu dimensi yuridis, sosiologis dan
filosofis.9 Begitu juga hendaknya dengan UU No. 2 Tahun 2004 yang harus
memenuhi ketiga aspek bagi validitas atau pemberlakuan hukum.
Meskipun UU ini memberikan harapan baru dalam mekanisme
penyelesaian perselisihan hubungan Industrial, namun dari sisi lain,
terdapat beberapa hal yang harus dikritisi untuk perbaikan perlindunganhak-hak pekerja dalam penyelesaian sengketa ketenagakerjaan ke depan
dengan uraian sebagai berikut:
1. Peran serikat perkerja/Serikat Buruh sebagai dapat bertindak sebagai
kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial
untuk mewakili anggotanya.
Pada Pasal UU 87 UU No 2 tahun 2004 disebutkan bahwa serikat
pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak
sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan
Industrial untuk mewakili anggotanya. Sementara itu, UU No 18
Tahun 2003 tentang Advokat pada Pasal 31 mengatur bahwa setiap
orang yang dengan sengaja menjalankan profesi Advokat dan bertindak
seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur
dalam UU Advokat, dipidana penjara maksimal 5 tahun dan denda
maksimal Rp 50 juta. Dengan demikian, secara horizontal terdapat
hubungan yang kontradiktif antara kedua UU tersebut.
Permasalahannya tidak sesederhana untuk mengatakan bahwa
ketentuan dalam UU No 2 tahun 2004, Pasal 87 adalah Lex Specialis
dalam segi pengaturan tentang kuasa hukum. Lalu tentunya,
pengaturan dalam UU No 18, Pasal 31 juga Lex Specialis dalam segi
pengaturan tentang profesi Advokat. Apalagi secara kronologis, UU No
2 tahun 2004 disahkan tanggal 14 Januari 2005, dan UU No 18 tahun
2003 tanggal 5 April 2003. Dengan asumsi bahwa pembuat UU No 2
tahun 2004 tentang Pasal 31 dalam UU Advokat, dari segi tata
perundang-undangan seharusnya ada klausula pengamanan agar ada
kepastian hukum terhadap ketentuan yang berkaitan dengan UU lain.
Oleh karena itu, ke depan perlu dilakukan upaya sinkronisasi antara
kedua UU tersebut bahkan merubah ketentuan yang kontradiktif
tersebut supaya selaras.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek
perlindungan hak-hak pekerja/buruh dalam PPHI masih mengandung
kelemahan-kelemahan, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Beberapa kelemah-kelemahan di atas perlu dicarikan jalan keluarnya agar
sistim penyelesaian perselisihan perburuhan yang cepat, tepat, adil dan
murah sebagaimana dicitakan dapat tercapai. Namun yang perlu diingat
bahwa prinsip penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
dikehendaki dalam UU ini lebih mengedepankan musyawarah untuk
mufakat di luar pengadilan, ketimbang jalur pengadilan. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004 yang mewajibkan
ditempuhnya mekanisme perundingan bipartit secara musyawarah untuk
mufakat dalam penyelesaian perselisihan.
Dengan demikian, jika dikaitkan dengan pola hubungan industrial,
maka UU tersebut lebih menghendaki pola hubungan industrial harmoni,
ketimbang pola hubungan industrial konflik ataupun koalisi.11 Pola
hubungan industrial harmoni adalah suatu model hubungan industrial
yang menekankan pada musyawarah untuk mufakat. Hal ini ditandai
dengan frekuensi konsensus yang tinggi sedangkan frekuensi konflik
rendah. Ketentuan ini sesuai pula dengan pola hubungan Industrial
Pancasila (HIP) yang menganut asas musyawarah untuk mufakat dalam penyelesaian perselisihan sebagaimana tercermin dalam kelima sila
(Pancasila).
Selanjutnya, konsep HIP ini dimanifestasikan pada asas
“partnership” atau kemitraan, baik dalam produksi (production),
keuntungan (profit) maupun tanggungjawab (responbility). Oleh karena
itu, posisi pekerja tidak dianggap sebagai faktor produksi, melainkan mitra
dalam proses produksi.12 Apabila konsep HIP ini diterapkan oleh masingmasing
pihak secara sukarela dan tidak ‘diplintirkan’ penerapannya seperti
pada pemerintahan orde baru, maka tidak akan ada aksi-aksi pekerja yang
semakin marak akhir-akhir ini. Pada akhirnya, perlu disadari bahwa
penyelesaian konflik dengan cara kekerasan hanya akan melahirkan
segudang masalah yang justru merugikan kita semua.

D. Penutup
UU No. 2 Tahun 2004 telah diundangkan dan telah berlaku efektif
pada tangal 14 Januari 2006 yang lalu. Dengan adanya sistim yang baru
ini, diharapkan akan terwujudnya kepastian hukum dalam penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dengan proses yang cepat, tepat, adil dan
murah sehingga dapat menimbulkan kepercayaan dari para investor.
Ketidakpastian dan multitafsir dalam peraturan bidang hubungan
industrial sering kali menimbulkan konflik, perselisihan, dan pemogokan
yang merugikan baik bagi pekerja maupun bagi pengusaha.
Meskipun demikian, masih terdapat beberapa kelemahan yang harus
diperhatikan untuk perbaikan perlindungan hak pekerja dalam UU No. 2
Tahun 2004 yang meliputi hal-hal sebagai berikut: peran serikat pekerja
untuk bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di PHI berpotensi
bertentangan UU Advokat, proses rekruitmen hakim Ad-Hoc yang
mewakili pekerja masih terkesan diskriminatif, prinsip peradilan dengan
biaya murah masih terhambat dengan adanya kewajiban buruh untuk membayar biaya eksekusi yang nilai gugatnnya di atas Rp. 150.000.000,-
,kurang jelasnya pengaturan tentang pembuktian telah dilakukannya
perundingan bipartit, dan hukum acara yang digunakan masih belum
mempertimbangkan kondisi pekerja.
Terlepas dari perdebatan apakah peraturan baru yang diharapkan
dapat mengakomodir kelemahan dari peraturan yang lama, perlu diingat
bahwa peraturan yang baik belum tentu menjamin benar-benar
terwujudnya sistim yang baik ataupun hasil yang baik pula. Pada akhirnya,
sistim yang baik harus ditunjang dengan aparat penegak hukum, terutama
hakim-hakim yang jujur, baik dan kompeten. Oleh karenanya mereka akan
menduduki posisi yang sangat penting dalam kebangkitan bangsa ini.
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial akan menjadi salah satu legal
light house (mercu suar hukum) bagi para pelaku ekonomi terutama
investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Peraturan-peraturan
ketenagakerjaan yang berlaku saat ini, yang menurut para pelaku ekonomi
merupakan peraturan yang tidak ramah investasi dapat diuji di Pengadilan
tersebut. Untuk itu, posisi hakim sebagai salah satu pembentuk hukum
akan menjadi sangat strategis di sini.
Harapan-harapan itulah yang saat ini dititipkan pada hakim
Pengadilan Hubungan Industrial. Oleh karenanya dituntut kemampuan
dari para hakim untuk tidak hanya melihat Undang-Undang sebagai
tulisan mati (dead letter rules), seorang hakim tidak boleh bersikap terlalu
formalistis, hakim harus bersikap realistis untuk melihat realitas yang ada.
Dengan masih kurang ramah atau kurang jelasnya peraturan
ketenagakerjaan yang ada, maka analisis ekonomi ke depan (forward
looking analysis) akan memungkinkan para hakim untuk tetap berpijak
pada peraturan yang ada, tetapi pada saat yang sama juga
mengembangkannya seirama dengan strategi pemulihan ekonomi
nasional. Itulah seninya, pencarian segi ekonomi di balik peraturan
perundangan, tanpa mengorbankan kepastian hukum.

E. Daftar Pustaka
Aloysius Uwiyono, Hak Mogok Di Indonesia, Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan
Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum Buku III, Sinar Harapan, Jakarta,
1990.
Departemen Tenaga Kerja RI, Pedoman Pelaksanaan Hubungan Industrial
Pancasila (HIP), Jakarta, 1985.
Eugenius Sumaryono, Filsafat Hukum; Sebuah Pengantar Singkat,
Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1989
Hanami T. Blan Pain, Industrial Conflict Resolution in Market Economics,
Kluwer Law and Taxation Publisher, 1987.
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 2003.
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui
Pengadilan dan Di Luar Pengadilan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, Liberty,