Disusun Oleh :
Elin Eliani (22210333)
Galih Pangestu (22210924)
Harry Farhan (23210157)
Saepudin (26210320)
Tiara Lenggogeni
(26210888)
Abstack
Konsep [dari;ttg] imunitas
absolut tidaklah lebih panjang dipelihara oleh karena pengenalan melawan
terhadap tindakan doktrin status. Bagaimanapun, walaupun ada berhenti konsep,
perlindungan kedaulatan status tinggal dengan kuat pada tempatnya. Perlindungan
[dari;ttg] imunitas absolut dapat diwarisi ketika suatu status bertindak iure
imperii, tetapi bukan [itu] berhubungan dengan berbagai hal suatu alam[i]
komersil. Tindakan doktrin status akan [jadi] [dianggap/disebut] sebagai
tindakan status, dengan ketentuan bahwa [itu] diselenggarakan di dalam
yurisdiksi yang wilayah [itu]. Seperti itu, doktrin dapat menggunakan untuk
menentukan apakah [itu] adalah iure imperii atau iure gestiones.
Kata Kunci: imunitas mutlak, kekebalan negara,
tindakan doktrin status
A. Pendahuluan
Kedaulatan merupakan aspek utama dalam pergaulan negara
yang satu dengan lainnya (dan organisasi-organisasi
negara) yang diatur oleh hukum. Brownlie[1] mengatakan
bahwa kedaulatan suatu negara akan menentukan bentuk hukum negara tersebut
sedangkan hukum akan menentukan syarat adanya
kedaulatan. Pengertian kedaulatan ini memang merupakan kata yang sulit
karena dapat menimbulkan arti yang berlainan. Jika arti kedaulatan itu
dimaksudkan bahwa negara mempunyai kekuasaan tertinggi, maka pengertian inilah
yang banyak menimbulkan salah paham.[2] Karena
tidak mungkin hukum internasional mengikat negara, jika negara merupakan
kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui kekuasaan yang lebih tinggi.
Pengertian kedaulatan negara ini apabila
dikaitkan dengan tindakan negara (act of State) misal pengambilalihan
hak milik orang asing, pencabutan ijin usaha orang asing dan sebagainya
ternyata mengalami perkembangan yang pesat. Permasalahan yang timbul dari
tindakan negara tersebut adalah apakah tindakan negara dari suatu negara
berdaulat dapat dituntut oleh suatu pengadilan di luar wilayahnya. Gerald
Fitzmaurice[3] mengemukakan
dua hal; (a) mengakui kekebalan negara secara mutlak dari proses persidangan
apapun kecuali atas kesukarelaan; (b) membedakan antara tindakan negara dan
tindakan non negara, dengan mengakui kekebalan bagi tindakan negara dan menolak
kekebalan bagi tindakan non negara.
Pada mulanya konsep kekebalan negara yang dianut adalah
kekebalan mutlak, namun konsep kekebalan mutlak ini hanya bisa bertahan sampai
abad ke 19.[4] Hal
tersebut disebabkan karena terjadinya praktek hukum pengakuan terhadap doktrin
tindakan negara, sehingga pendukung doktrin kekebalan absolut menjadi
berkurang. Karena pada kenyataanya penerapan kekebalan absolut sangat sulit
dilakukan. Namun demikian, dalam yurisprudensi beberapa negara, perlindungan
terhadap suatu negara dalam bentuk imunitas kedaulatannya, hanya diberikan
apabila negara yang bersangkutan telah bertindak dalam kualitasnya sebagai
suatu negara dengan kekuatan politisnya bukan sebagai pedagang[5].
Di Inggris penerapan konsep kekebalan negara sangat dibatasi,
yang hanya dapat diterapkan pada aktivitas-aktivitas publik dan pemilikan hak
untuk tujuan publik. Sedangkan Amerika Serikat, kekebalan negara
ditolak jika tindakan-tindakan negara yang
dilakukan tidak berkaitan dengan fungsi pemerintah. Sedangkan di Belanda dan
Jerman[6] kekebalan
negara hanya diberikan terhadap tindakan negara dalam kapasitasnya
sebagai imperium. Tetapi dalam praktek
khususnya di Belanda tidak dapat menerapkan konsep tindakan
negara atas hak milik orang asing (property) dan aktivitas-aktivitas
negara asing berdasarkan kedaulatannya. Karena sulitnya untuk membedakan antara
tindakan negara dalam kapasitasnya sebagai negara berdaulat (acta imperii)
dan tindakan negara dalam melakukan aktivitas ekonomi (acta gestionis),
terutama sebelum tahun 1943[7].
Perbedaan pendapat antara penerapan konsep kekebalan negara yang
mutlak (absolut) dan kenyataan dalam praktek berbeda di setiap negara. Disatu
pihak banyak perusahaan negara maju yang telah melakukan investasi untuk
mengembangkan usahanya di negara lain. Tetapi dilain pihak dalam beberapa
kasus terdapat tindakan negara yang diadili pengadilan
asing berkenaan dengan pengambilalihan[8], namun tidak pernah dilakukan eksekusi atas putusan pengadilan
asing tersebut.
1. Teori Imunitas
Konsep kekebalan negara sebenarnya telah menjadi pusat perhatian
dan perdebatan para ahli hukum internasional sejak abad ke 19. Namun, dalam
beberapa tahun terakhir, terdapat suatu fenomena baru yaitu usaha kodifikasi
hukum internasional yang mendorong ke arah penetapan posisi negara-negara dan
kelompok-kelompok negara dalam kaitannya dengan kekebalan negara[9].
Terhadap masalah kekebalan negara, menunjukan bahwa perkembangan
hukum kekebalan negara tidak perlu membahasnya secara
khusus, karena sebagian besar sumber hukum kekebalan negara
diperoleh dari keputusan-keputusan pengadilan sebagai bukti
praktek negara dalam bidang ini[10]. Tetapi saat ini terdapat kecenderungan ke arah pembatasan
kekebalan negara pada tingkatan-tingkatan tertentu yang disebut iure
imperii. Oleh karena itu, tidak ada negara yang mengeluarkan
kebijaksanaan yang bertentangan dengan kecenderungan
ini.
Adanya kecenderungan untuk membatasi kekebalan negara, masalah
kekebalan negara dari yurisdiksi negara lain tetap merupakan bagian
penting hukum internasional. Karena kekebalan negara
pada dasarnya mencerminkan struktur hubungan internasional yang diatur oleh
hukum internasional. Dan salah satu ciri kedaulatan adalah kekebalan negara
dari campur tangan atau gangguan dalam pergaulan
internasional. Oleh karena itu, masalah kedaulatan sangat erat hubungannya
dengan yurisdiksi negara. Namun, dalam hukum internasional prinsip kekebalan
negara harus diartikan sebagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban (positif), agar
prinsip ini dapat mendefinisikan tindakan-tindakan yang melanggar dan tidak
melanggar hukum[11].
Terhadap konsep kekebalan negara sebagian ahli memandang adanya
perkembangan yang dapat mengubah konsep klasik
kekebalan negara, karena turut campurnya
negara dalam bidang perekonomian nasional dan
internasional yang semakin meluas. Keadaan ini merupakan latar belakang
sosial perubahan konsep kekebalan negara yang merupakan perubahan sifat,
dan fungsi negara pada umumnya.
Seperti, pembentukan perusahaan-perusahaan milik negara, monopoli
perdagangan asing dan berbagai bentuk perdagangan yang dilakukan
oleh negara, menyebabkan perubahan-perubahan penting dalam hukum
kekebalan negara[12].
Namun yang terpenting adalah bahwa kekebalan negara hanya
berlaku dalam kasus-kasus di mana kekebalan negara dapat berfungsi menjamin
kepentingan negara atau kepentingan masyarakat internasional secara
keseluruhan, bukan untuk hubungan ekonomi biasa[13].
Karena pada umumnya pada hubungan ekonomi internasional terdapat dua
bentuk [14]: (1) Suatu negara dapat menjalin hubungan langsung dengan
negara-negara lain sebagai pemerintah;
(2) hubungan melalui perusahaan-perusahaan negara yang
tidak bertindak atas nama negara.
Lain halnya jika perusahaan-perusahaan negara dianggap sebagai
organ negara dalam kaitannya dengan konsep hukum internasional, maka dalam
keadaan-keadaan tertentu perusahaan negara berhak menuntut kekebalan.
Karena tidak ada ukuran-ukuran yang diakui secara universal dalam hukum
internasional untuk mendefinisikan perusahaan negara sebagai organ negara atau
kekayaan negara[15].
Karena dilain pihak perusahaan milik negara dipandang sebagai badan hukum
terpisah dan memliki otonomi finansial dan ekonomi tertentu.
Sedangkan menurut Undang-undang Hukum Perdata
negara-negara sosialis di Eropa, perusahaan milik negara
tidak bertanggung jawab atas utang negara, demikian pula negara tidak
bertanggung jawab atas utang perusahaan negara[16]. Perlu pula diketahui bahwa perusahaan negara meskipun tidak
diakui sebagai pemilik asetnya, tapi dapat bertindak untuk kepentingan sendiri
baik tanggung jawab maupun kewajibannya.
Dalam hal ini yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa
kedudukan perusahaan milik negara harus ditentukan berdasarkan lex
personalis yaitu atas dasar hukum negara pemilik, kecuali
perusahaan-perusahaan yang didirikan di luar negeri harus tunduk pada
peraturan-peraturan negara bersangkutan[17].
Pengadilan negara Barat berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan milik negara
tidak berhak atas kekebalan di bawah hukum internasional, karena perusahaan
negara bukan merupakan kekayaan umum negara. Oleh karena itu, bagi masalah-masalah
lainnya diatur oleh hukum perdata internasional bukan oleh hukum internasional
publik.
KPE Lasok dalam membahas kasus Rorimplex,[18] berpendapat
bahwa perusahaan-perusahaan milik negara pada umumnya tidak memiliki keinginan
sendiri, tapi hanya menjalankan keinginan Pemerintah. Namun, dalam
beberapa hal organ negara mempunyai hak untuk mengadakan perjanjian dengan
perusahaan-perusahaan atau individu-individu dari negara lain (asing), meskipun
kedudukannya untuk melakukan kegiatan ekonomi atau bisnis nampaknya sulit.
Keragaman isi kontrak yang dilakukan oleh organ negara,
memberikan bukti bahwa hukum kontrak sangat berbeda dari kasus ke kasus dan
dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi pada penerapan kekebalan negara. Oleh
karena itu, pemberian kekebalan bagi negara yang terlibat dalam kontrak antar
negara dapat memperkuat kedudukan hukum, ekonomi dan politik negara-negara
tersebut dalam hubungan mereka dengan
perusahan-perusahaan asing. Berdasarkan hal tersebut tidak realistis jika
kekebalan negara hanya dapat diperluas ke dalam jenis-jenis kontrak antar
negara tertentu.
2. Doktrin Tindakan Negara (Act of State Doctrine)
Dalam hubungannya dengan kekebalan negara,
terdapat sebuah doktrin yang disebut doktrin tindakan negara (Act
of State Doctrine) atau Secondary Immunity[19]. Doktrin
tindakan negara telah lama menjadi bagian yang tidak tersentuh oleh perubahan
yurisprudensi Inggris[20].
Di Inggris dan Amerika Serikat kasus-kasus tindakan negara
relatif langka dan kurang
mendapat perhatian selama bertahun-tahun sebelum kasus
Sabbatino[21]. Tetapi
kasus-kasus yang terjadi telah memperlihatkan
suatu indikasi bahwa doktrin tindakan negara akan cukup penting dimasa
mendatang. Sebagaimana timbulnya aktivitas-aktivitas negara dalam bidang
ekonomi. Doktrin ini tampaknya baru dapat
diberlakukan, jika perisai kekebalan negara dapat ditembus.
Doktrin ini merupakan aturan sebagai langkah kedua yang dapat
dijadikan pedoman oleh pengadilan dalam memberikan putusan. Apakah
peraturan hukum negara asing dapat diberlakukan
jika negara asing tersebut bertindak dalam yurisdiksinya. Doktrin ini tidak
jauh berbeda dengan doktrin kedaulatan, karena kedua
doktrin tersebut pertimbangannya atas dasar yang
sama yaitu menghormati kedaulatan negara lain[22].
Pengertian doktrin tindakan negara tidak saja mencakup
pelaksanaan kedaulatan oleh kekuasaan eksekutif
atau administratif dari suatu negara merdeka dan berdaulat, atau
aparat-aparatnya atau pejabat-pejabatnya yang sah. Tetapi merupakan
tindakan-tindakan legislatif dan administratif seperti Undang-undang, dan
Peraturan Pemerintah[23].
Oleh karena itu, doktrin tindakan negara akan muncul
dalam berbagai bentuknya, seperti suatu doktrin pemerintah
asing untuk menyita harta kekayaan di dalam yurisdiksinya yang dipermasalahkan
oleh pihak swasta yang mendasarkan keabsahan haknya atas suatu pembelian dari
pemerintah asing.
Di negara-negara Anglo Saxon,
Inggris dan Amerika serikat, hakim-hakimnya telah memegang teguh
doktrin tindakan negara ini. Jika suatu tindakan berasal dari negara berdaulat
yang diakui oleh pemerintah negara mereka, maka hakim di negara-negara Anglo
Saxon akan menyatakan tidak berwenang untuk mengadakan pengujian terhadap
perbuatan-perbuatan negara yang telah diakui sebagai negara berdaulat (iure
imperii). Contoh klasik doktrin tindakan negara telah diterapkan pada kasus
Luther lawan Sagor di Pengadilan Inggris pada tahun 1921[24], dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin
tindakan negara tidak memiliki otoritas
lebih tinggi dibandingkan dengan sejumlah putusan Mahkamah Agung
Amerika Serikat, seperti dalam perkara Underhill.
Namun, tampaknya putusan pengadilan Inggris telah memberikan
pengaruh lebih penting dalam penerapan doktrin ini[25].
Prinsip doktrin tindakan negara dalam bentuknya yang modern dapat diketahui
dari kasus Hatch lawan Baez. Hakim Gilbert yang menangani kasus tersebut
menyatakan :
“Berdasarkan sikap saling menghormati di antara bangsa-bangsa
dan hukum internasional, pengadilan suatu negara tidak dapat mengadili
tindakan-tindakan dari pemerintah negara lain yang dilakukan di dalam
wilayahnya sendiri”[26]
Dalam kasus tersebut, sebagaimana telah diputuskan oleh
Hakim Gilbert tindakan-tindakan yang dilakukan oleh tergugat sesuai
dengan kapasitasnya sebagai Presiden Republik San Domingo, yang
dianggap cukup untuk dijadikan dasar keputusan
Pengadilan mengenai kekebalan pribadi yang
dinikmati pejabat-pejabat pemerintah negara asing atas tindakannya yang
dilakukan sesuai kapasitasnya. Sehubungan dengan
hal tersebut, pengadilan menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
“Meskipun individu tersebut kebal terhadap gugatan pengadilan
asing, tetapi pelaksanaan kedaulatan suatu negara harus memelihara
perdamaian dan harmonisasi di antara
bangsa-bangsa”[27]
Dari simpulan ini tampak bukan saja negara yang dipandang
mempunyai kekebalan (ratione personae), tetapi juga tindakan-tindakannya
harus dianggap kebal dan tidak dapat diuji oleh hakim asing.
Inilah suatu imunitas ratione materae atau
juga doktrin tindakan negara.
Untuk mengantisipasi kasus-kasus selanjutnya, perlu adanya
keselarasan antara pengadilan dengan pihak organ negara terkait, terutama dalam
kaitannya dengan tindakan-tindakan negara asing yang berdaulat untuk menerapkan
dan mengakui hak-hak negara asing yang didasarkan pada niat baik yang
dituntut pada kehidupan masyarakat internasioal
yang merupakan bangsa-bangsa beradab.
Di samping itu, batas-batas doktrin tindakan
negara dapat ditemui melalui peraturan-peraturan yang
biasa digunakan dalam Conflict of Laws. Sehubungan dengan hal
tersebut dapat dikemukakan : (a) jika negara asing yang
berdaulat atau wakil-wakilnya sebagai
tergugat, caedit questio,
berlaku doktrin kekebalan negara; (b) jika tindakan negara
tersebut menimbulkan gugatan di antara pihak-pihak swasta, dan sengketa
tersebut kemudian mengarah pada hukum asing, maka hukum yang berlaku adalah
hukum perdata internasional; (c) jika kerugian dilakukan berdasarkanlex loci
delicti commisi, maka pengadilan forum harus menanganinya jika tergugat
setuju atas gugatan tersebut; (d) jika suatu konfiskasi atas harta benda telah
terjadi, maka lex rei sitae akan berlaku, jia tidak
bertentangan dengan hukum internasional; (e) jika keabsahan suatu Undang-undang
negara asing menjadi masalah, maka hakim harus dapat menempatkan kedudukannya
agar tidak bertentangan dengan negara asing tersebut.
Bankes[28],
yang melakukan pendekatan dari segi hukum perdata internasional, mengatakan
bahwa pada kenyataannya lex rei sitae didasarkan pada
pertimbangan kebijaksanaan publik negaraforum (public policy of
the forum) yang tidak dapat dihindari. Selanjutnya Warrington[29]mengatakan,
bahwa pada prinsipnya keabsahan tindakan-tindakan suatu negara yang merdeka dan
berdaulat, baik yang berkaitan dengan harta benda maupun
orang tidak dapat diuji oleh pengadilan suatu negara selama
tindakan tersebut berada dalam yurisdiksinya.
Berdasarkan uraian di atas, bermacam-macam pendapat mengenai
doktrin tindakan negara, tidak perlu dibandingkan apakah
doktrin tersebut merupakan
ketentuan hukum internasional publik atau apakah harus
dikarakteristikan sebagai ketentuan hukum perdata intenasional. Karena
tidak ada prinsip hukum internasional publik yang mensyaratkan penerimaan
ketentuan tersebut melalui pengadilan nasional. Dan tidak pernah ada
gugatan di pengadilan internasional sebagai akibat gagalnya menerapkan doktrin
tindakan negara.
C. Praktek Act of State Doctrin Yang Melibatkan
Indonesia
Dalam perkara ini penggugat
(Industrial Invesment Development Corporation, Indonesia
Industrial Invesment Corporation, Ltd. dan Forest Products Corporation
Ltd.) telah mengadakan kerjasama dengan pihak PT.
Telaga Mas untuk bersama-sama melakukan logging serta
mengekspor kayu keberbagai negara, antara lain
Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia telah memberikan kemungkinan untuk
memperoleh konsesi hutan di wilayah Kalimantan melalui PT Telaga Mas.
Untuk kepentingan tersebut para pihak telah membuat
suatu joint venture agreementpada tahun 1970.
Pihak tergugat Mitsui (Multinational Corporation Mitsui and
Co. Ltd. dan Mitsui and Co. Ltd. (USA) dianggap telah
membuat suatu perjanjian dengan pihak PT. Telaga Mas yang
kemudian dianggap merugikan penggugat. Pengaruh hubungan PT. Telaga
Mas dan Mitsui, menyebabkan PT. TELAGA MAS tidak melanjutkan final
agreement. Dengan demikian dapat diketahui putusnya hubungan hukum antara
PT. Telaga Mas dengan penggugat disebabkan adanya intervensi pihak
Mitsui.
Atas dasar sengketa tersebut
Dirjen Kehutanan atas nama pemerintah Indonesia melarang
melanjutkan persetujuan yang telah dilangsungkan antara
perusahaan joint venture (penggugat dengan PT. TELAGA MAS)
dengan pihak pemerintah Indonesia. Hal ini dijadikan dasar
oleh pemerintah Indonesia untuk membatalkan persetujuan
melalui putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yang menganggap bahwa pihak yang mewakili
PT. TELAGA MAS dalam joint venture tidak mempunyai wewenang
untuk mewakili perusahaan tersebut dalam penandatangananjoint
venture agreement. Dengan demikian Pemerintah menganggap
tidak dapat mengeluarkan ijin HPH kepada joint
venture yang telah dibuat antara PT. TELAGA MAS dengan
penggugat.
Dalam kasus ini penggugat melalui pengadilan Amerika
Serikat yaitu District Court Texas meminta ganti
rugi berdasarkan Antitrust Law Amerika,
yaitu Sherman Act; karena menganggap adanya
pelanggaran praktek anti competitive, berkenaan
dengan operasi penebangan kayu dan sebagainya di Kalimantan.
Pihak Mitsui telah mengajukan suatu permohonan sidang kilat, dengan
mengajukan eksepsi act of State doctrine tuntutan ganti
rugi penggugat terhadap pemerintah Indonesia tidak dapat
dilanjutkan. Dalam tingkat pertama argumen Mitsui dibenarkan
dan pengadilan menganggap bahwa penolakan suatu konsesi kehutanan
untuk penebangan kayu bagi penggugat yang dilakukan oleh Dirjen
Kehutanan merupakan tindakan pemerintah Indonesia yang diakui oleh Amerika
Serikat. Dengan ditolaknya ijin HPH, penggugat
tidak dapat mengajukan gugatan ganti rugi karena dasar penolakan
ijin HPH oleh Dirjen Kehutanan RI memiliki alasan yang kuat. Menurut District
Court Texas, perkara tersebut tidak termasuk wewenang hakim AS,
oleh karena itu gugatan pihak penggugat tidak dapat diperiksa dan eksepsi
tergugat dikabulkan.
Dalam tingkat banding pihak penggugat (Industrial
Invesment Development) memperoleh putusan yang
berlainan, karena dalam putusannya argumen Act of State
doctrine tidak dipersoalkan, dengan
perkataan lain pengadilan banding menolak argumen Act
of State doctrine tergugat.[30]Atas dasar putusan tersebut, perkara gugatan penggugat
kepada tergugat dapat dilanjutkan, untuk itu perkara harus diperiksa
ulang. Pengadilan Banding menganggap bahwa argumentasi Act
of State Doctrine tidak tepat digunakan karena kerugian
yang terjadi disebabkan tindakan penggugat yang berkomplot dengan pihak
PT. TELAGA MAS dengan tindakan mengahangi kompetisi bebas,[31] sehingga ijin HPH ditolak oleh pemerintah
Indonesia. Dengan demikian terdapat satufase sebelum adanya
penolakan ijin HPH, yang ternyata pihak tergugat telah melakukan tindakan
persekongkolan dengan pihak PT. Telaga Mas yang tadinya
merupakan partner penggugat.
Penggugat dalam pengadilan banding
mengajukan tiga masalah agar Act of
State Doctrinetidak berlaku.[32] Para tergugat tidak dapat mengelak dari
tanggung jawab untuk ganti rugi yang disebabkan
oleh perbuatan mereka sendiri yang
tercela, perbuatan-perbuatan mana harus dilihat secara berdiri
sendiri dan terpisah walaupun perbuatan dari Pemerintah
Indonesia menambah kerugian yang telah diderita
para penggugat; sehinga tidak diberikannya ijin HPH
kepada penggugat (joint Venture) oleh pemerintah
Indonesia dapat dianggap bukan sebagai tindakan Pemerintah,
tapi lebih dapat dilihat seperti membuat suatu perjanjian
tertentu dalam melakukan Forestry Agreement dengan joint
Venture bersangkutan. Jika melihat ketentuan Peraturan Pemerintah No.
6 tahun 1999 tentang HPH dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi terdapat
ketentuan yang menyatakan, bahwa syarat-syarat dan cara mengajukan
permohonan serta cara memberikan hak pengesahan Hutan ditetapkan oleh
Menteri Pertanian.
Sedangkan Pasal 11 ayat (1) mengatakan “Hak Pengusahaan Hutan
diberikan oleh Menteri Pertanian setelah mendengar pendapat
Gubernur/Kepala Daerah Propinsi yang bersangkutan”. Sehubungan dengan
ketentuan tersebut, yang perlu diperhatikan
adalah argumentasi penggugat yang menyatakan bahwa tindakan
pemerintah Indonesia bukan sebagai tindakan pemerintah (berdaulat)
tapi lebih dapat dilihat seperti membuat suatu perjanjian tertentu. Jika
diteliti, pendapat penggugat dalam hubungannya
dengan ketentuan Pasal 11 (1), tampaknya ketentuan ini tidak memberi peluang
pemberian ijin HPH dengan suatu perjanjian tertentu.
Dalam kaitannya dengan kasus di atas, dapat dipastikan jika
para pihak merupakan perusahaan penanaman modal asing, maka sebelum melakukan
kegiatannya terlebih dulu akan mengikuti ketentuan yang umumnya dilakukan oleh
perusahaan PMA yaitu menandatangani perjanjian penanaman modal asing (PMA).
Baik dalam bentuk perjanjian jaminan PMA (Invesment Guaranty Agreement)
maupun perjanjian penanaman modal antara perusahaannya dengan Pemerintah
Indonesia yang di dalamnya terdapat klausul penyelesaian sengketa atau
suatu consent[33] yang bentuknya kesepakatan untuk menyelesaikan sengketanya
melalui arbitrase ICSID. Konsekuensi dari isi klausul tersebut, bagi
pihak yang wan-prestasi harus mentaatinya. Oleh karena itu,
jika yang dimaksudkan pihak penggugat pemberian HPH merupakan perjanjian
tertentu artinya terdapat dalam perjanjian penanaman modal, tidak mungkin
jika di dalamnya tidak termasuk consenttersebut yang mengarah ke
arbitrase ICSID (centre). Karena biasanya bagi pihak asing pilihan hukum
atau pilihan pengadilan tersebut merupakan komponen yang sangat penting
dan tidak pernah diabaikan.[34]
Dengan demikian bagi pihak penggugat jika menganggap
dengan tidak diberikannya ijin HPH oleh pihak pemerintah Indonesia
sangat merugikan. Maka dengan dasar perjanjian tersebut, sebenarnya dapat
melakukan gugatan secara langsung sesuai dengan ketentuan Konvensi Washington
1965 (Konvensi tentang Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal) yang telah
diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1968, yaitu
melalui arbitrase ICSID.[35]
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
ditolaknya ijin HPH oleh pemerintah Indonesia dilakukan atas
dasar tindakannya sebagai suatu negara berdaulat (public act atau iure
imperii), karena jika tindakan suatu negara
atas dasar tindakannya dalam kapasitas iure gestiones (commercial
act) harus dilakukan oleh Perusahaan Negara (BHMN). Tindakan
Pemerintah Indonesia untuk tidak memberikan ijin HPH kepada perusahaan
Joint Venture tersebut dilakukan sebagai tindakan prefentif
yang merupakan jalan keluar bagi pengamanan hutan karena terjadinya
sengketa pihak pengelola hutan yang kemungkinan akan melalaikan
kewajibannya[36].
Demikian pula, jika melihat latar belakang kasus ini
ternyata para pihak yang keduanya merupakan perusahaan swasta asing berbadan
hukum Indonesia, sesungguhnya harus mentaati ketentuan yang
berlaku di Indonesia[37]. Oleh karenanya tindakan Pemerintah Indonesia merupakan hal
yang wajar, walaupun keyataannya merugikan para pihak.
Karena jika kembali kepada dasar gugatan dalam proses
pengadilan pertama (pengadilan District Court Texas), sesungguhnya
dasar gugatan tersebut tidak dapat dilepas dari masalah pemberian ijin
HPH Pemerintah Indonesia.
Dengan demikian jika tergugat
mengemukakannya berdasarkan Act of State doctrine, menurut
hemat penulis adalah tepat. Bahkan sampai tingkat bandingpun
argumen Act of State doctrine ini dapat di pertahankan. Hal
ini jelas, jika melihat pendapat penggugat yang mengatakan
bahwa tindakan Pemerintah Indonesia bukan
merupakan tindakan negara berdaulat yang diakui oleh Amerika
sebagai negara forum. Maka dapat disimpulkan bahwa
penggugat memisahkan sebab dan
akibat dari perkara bersangkutan, apakah
sistem hukum negara bagian Amerika Serikat menganut
ketentuan ini?. Karena tidak mungkin terjadi
suatu sengketa tanpa didahului oleh suatu hubungan hukum, sedangkan
hubungan hukum ini merupakan dasar yang penting untuk mengajukan suatu
gugatan.
Apabila melihat peraturan khusus masalah imunitas
dari negara-negara yang menghadapi perkara tersebut.
Secara khusus di Amerika Serikat telah dibuat peraturan yang
dinamakan Fereign Soverign Immunity Act 1976.
Dalam ketentuan tersebut, terdapat pengecualian umum atas imunitas
mengenai yuridiksi terhadap suatu negara asing, yang
dirumuskan sebagai berikut:[38](1) Apabila negara bersangkutan telah melakukan suatu
kegiatan komersil (commercial activity) yang telah
dilakukan di dalam wilayah Amerika Serikat, atau; (2) Apabila
dilakukan suatu perbuatan dialam wilayah Amerika Serikat dalam
hubungan dengan suatu kegiatan komersil dari negara asing di tempat
lain ; (3) atau apabila suatu perbuatan di luar wilayah Amerika
Serikat tetapi dalam hubungannya dengan suatu aktivitas
komersil dari negara asing di luar negeri dan perbuatan
tersebut telah menyebabkan suatu akibat langsung (causes a direct
effect) di Amerika Serikat maka tidak berlaku imunitas.
Atas dasar peraturan khusus ini, tampaknya pengadilan di AS
menerima Act of State doctrinedengan prinsip teritorialitas
yaitu jika perbuatan dilakukan di dalam wilayah AS, imunitas bagi sebuah
negara tidak berlaku. Hal ini menunjukan bahwa penafsiran Act of
State doctrine di Amerika Serikat telah menjurus pada
suatu penafsiran yang sempit, yang oleh sebagian pengamat dianggap
tidak selaras dengan kondisi modern kehidupan
internasional dewasa ini.[39]
Apakah penolakan Act of State doctrinee oleh
Pengadilan Banding yang menyatakan Act of State
Doctrine tidak menghendaki pengadilan Amerika Serikat melindungi
pihak tergugat untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka
yang berdiri sendiri, merupakan akibat langsung untuk keadaan
Amerika yaitu hubungan baik dengan Pemerintah Indonesia atau akibat
langsungnya berupa Restraint and monopolize foreign Commerce seperti
yang dianut AS dalam Antitrust Law-nya, yang memperluas jangkauan
teritorialitas menjadi ekstrateritorial dengan kebijaksanaan
dalam bidang perdagangan dan perekonomian
non kompetitif, sehingga sebuah organisasi dapat mengajukan suatu
pembelaan dari tindakan suatu negara (asing)
berdasarkan antitrust Law AS.[40]
Oleh karena itu, jika pendirian
pengadilan banding di AS tersebut
mengikuti tuntutan penggugat merupakan hal yang wajar karena pengadilan di
A.S memperoleh otoritas untuk mempertahankan pendiriannya bukan
berdasarkan hukum internasional.[41] Pemberian otoritas ini diperoleh pengadilan-pengadilan AS
sebagai konsekuensi pemisahan kekuasaan atau Separation of
Powers yang dianut Undang-undang Dasar AS.
D. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
- Kekebalan
mutlak suatu negara saat ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena
adanya aktivitas-aktivitas negara dibidang ekonomi untuk memenuhi
kesejahteraan rakyatnya.
- Berakhirnya
konsep kekebalan mutlak bukan berarti negara-negara tidak mempunyai
perlindungan atas kedaulatannya. Karena perlindungan kekebalan mutlak
dapat diberikan jika suatu negara bertindak sesuai dengan kapasitasnya
(tindakan politik) atau iure imperii. Tetapi jika suatu negara
bertindak karena aktivitas-aktivitas ekonominya (commercial act)
atau iure gestiones perlindungan kekebalan mutlak tidak
dapat diberikan.
- Yang
paling penting dalam hal doktrin tindakan negara (Act of State Doctrine)
atau imunitas sekunder, bahwa tindakan suatu negara akan diakui sebagai
tindakan dalam kapasitasnya (iure imperii) jika tindakan tersebut
dilakukan dalam yurisdiksinya. Dan tindakan di dalam wilayah yurisdiksi
tersebut akan menjadi ukuran apakah merupakan tindakan iure
imperiiatau iure gestiones.
Daftar Pustaka:
Andras Bragyova, Reflection Immunity of State from the
Point of View of International Law, in Question of International Law, Hanna
Bokor-Szego ed., Kluwer, 1986
Bistline-Loomis, The Foreign Soverign Immunities Act in
Practice, AJIL vol. 73, 1979
D.P. O’Connel, International Law, London, 1965
Gerald Fitzmaurice, State Immunity from Proceedingin
Foreign Courts, BYIL vol.14/1933
Gerald von Glahn, Law Among Nation, New York, 1981
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Clarendon
Press, London, 1990
Ita Gambiro, Perjanjian Lisensi dan Technical Assistence,
Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 1990
JHL Morris, Cases on Private International Law,
London, 1960
Michael Singer, The Act of State Doctrine of the United
Kingdom an Analysis With Comparison to United States Practice, AJIL
75/1981
Michael Zander, The Act of State Doctrine, in The
International Law in Twentieth Century, New York, 1966
Mochtar Kusumaatmadja & Eti R. Agoes, Pengantar
Hukum Internasional, PT. Alumni Bandung, 2003,
Putusan United States Court of Appeal, 5th, circuit,
Aprl. 25-1979
Richard Falk, The Role of Domestic Courts in
International Legal Order, Cyracus, 1964
Sompong Sucharitkul, Immunities of Foreign State before
National Authorities, Collected Course HAIL, Leiden, 1976
Sompong Sucharitkul, Immunities of Foreign State Before
National Authorities, NILR vol.10, 1976
Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional,
Alumni, Bandung, 1980
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional
Indonesia, Binacipta, Jkt, 1976
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Internasional Pada
Nasionalisasi di Indonesia, Alumni, 1975
United States; Foreign Soverign Immunities Act 1976.
UU No. 25 tahun 20077 tentang Penanaman Modal.
W. Friedmann, Some Impact of Social Organization on
International Law, AJIL vol.50
PP No. 6 tahun 1999 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan
Hasil Hutan dar Hutan Industri.
http://www.undiknas.ac.id/jurnal/fakultas-hukum.html .
http://www.undiknas.ac.id/jurnal/fakultas-hukum.html .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar